A.
Kerangka Teoritik
Kondisi zaman yang selalu
berubah dan berbeda, hal ini membawa masyarakat senantiasa mengalami perubahan
pada pola pikir dan tata nilai dalam
hidup bermasyarakat. Dengan adanya perubahan zaman, cara berfikir
masyarakat semakin maju dan berkembang. Pandangan semacam itu tidak terlepas
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, lebih jauh lagi bahwa syari’ah
Islam tida terbatas pada dimensi ruang dan waktu serta selalu sesuai dengan
setiap perubahan masyarakat. Maka syari’ah Islam harus mampu mengatasi perubahan zaman
tersebut yang dikehendaki dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat demi
kemaslahatan manusia , khususnya umat Islam.
Syari’ah Islam itu dengan sumber-sumbernya,
nash-nashnya dan kaidahnya tidak hanya berpangku tangan saja dengan kaki
terbelenggu sehingga tidak dapat bergerak mengikuti berbagai peristiwa yang
berjalan kea rah perubahan, ia akan terus maju ke depan sejak zaman para
sahabat sampai akhirkehid upan dunia ini.[6]
Sebagaian besar ahli fiqih berpendapat, bahwa
hukum dasar sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang menetapkan bahwa
sesuatu itub terlarang, seperti bunyi kaidah usul Al-fiqih berikut :[7]
الاصل فى
لاشياء الاباحة حتي يدلالدليل علي التحريم
Berdasarkan kaidah di atas dapat dipahami bahwa
segala macam bentuk mu’amalah pada dasarnya adalah dibolehkan oleh syari’ah
Islam selagi tida bertentangan dengan syari’ah itu sendiri. Untuk menghadapi
persoalan perkawinan yaitu tentang pencatatan perkawinan, menurut pasal 2 ayat
(2) UU No, 1 Tahun 1974, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Karena pencatatan perkawinan adalah termasuk
salah satu bentuk mu’amalah dengan tujuan untuk membentuk atau mencapai
kemashlahatan, baik yang melangsungkan perkawinan juga bagi orang lain. Maka
pasal 2 ayat (2) UU No, 1 tahun 1974 dan peraturan perundang-undangan
perkawinan lainnya serta petunjuk pelaksanaannya tercakup pada kaidah berikut
ini :
الحكم يتبع المصلحة الراجحة[8]
Hukum Islam tidak mensyaratkan pencatatan perkawinan sebagai sahnya perawinan, karena tidak ada nash
yang mengharuskan agar pernikahan dicatat. Maka menurut penulis, bahwa pasal 2
ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang mengharuskan adanya pencatatan
perkawinan adalah merupakan suatu ijtihada baru.
Pencatatan perkawinan bertujuan memperoleh
kepastian hukum atas terjadinya perkawinan, yang akan dipergunakan oleh Negara
untuk melindungi hak masing-masing suami istri. Tanpa pencatatan, Negara tidak
mempunyai dokumen otentik atas terjadinya perkawinan.[9]
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas
pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan bagi umat Islam Indonesia,
karena pencatatan tersebut mengandung unsur kemashlahatan. Hal ini sesuai
dengan Firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah (2) ayat (282) sebagai berikut
:[10]
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷/
7=Ï?$2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 …
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…"
Pencatatan perkawinan dilakukan untuk
mendatangkan kemashlahatan, maka untuk itu segala bentuk kesulitan harus
dihilangkan, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj yang berbunyi :[11]
… $tBur @yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 …
.. Dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan …
Berdasarkan kaidah ushul al-fiqh dan nash
al-Qur’an tersebut di atas, bahwa pada prinsipnya setiap hukum itu
memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat, menerima kebaikan dan menolak
kerusakan dalam hidup masyarakat.
Nushus al-Qur’an dan ayat-ayatnya menandaskan
bahwa tujuan (ghayah) dari hukum Islam baik secara global ataupun secara
terperinci , ialah :[12]
منع
المفا سد من دنيا الناس وجلب المصالح لهم وسياسة الدنيا الحق والعدل والخير وتو
ضيح معالم الطريق امام العثل البشرئ
Menurut al-Gazali di dalam al-Mustasfa, mashlahat
adalah memelihara maksud asy-syar’i, yaitu tujuan pembuatan hukum. Adapun untuk
menjaga mashlahat menurut maksud syar’i adalah lima hal, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima hal tersebut al-Gazali
kelompokkan menjadi tiga peringkat, yaitu ad-daruriyat, al-hajiyat dan
at-tahsiniyat.[13]
Tingkat daruri merupakan sesuatu yang tidak
boleh tidak harus ada, dan dilaksanakan dalam rangka menciptakan lima
kemashlahatan tersebut. Tingkat hajiyat diwujudkan dalam rangka menghindari
kesulitan pelaksanaan dan kesempatan dalam pengalaman. Tingkat tahsini,
diwujudkan dalam rangka untuk memperkokoh dan memperindah bangunan hukum dengan
mendasarkan pada akhlak yang mulia.[14]
Pencatatan perkawinan adalah termasuk pada
tingkatan daruri, untuk itu harus dilaksanakan dalam rangka mewujudkan
kemashlahatan dengan memelihara atau memberikan perlindungan terhadap keturunan
dan harta sebagai konsekwensi dari perrkawinan tersebut.
B.
Temuan dan Pembahasan
1.
Unsur-unsur mashlahah dalam pencatatan perkawinan
Hukum Islam tidak mengatur secara jelas tentang
pencatatan perkawinan. Sedangkan Undang-undang perkawinan mengharuskan
pencatatan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan, yang nantinya
dicatat dalam akta perkawinan. Seperti bunyi pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974 : [15]
“ Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Mengenai maksud dan tujuan pencatatan
perkawinan lebih dan terperinci, berikut ini akan diuraikan unsur-unsur
mashlahah dalam perkawinan yang dilangsungkan dengan adanya pencatatan
perkawinan dengan menggunakan tinjauan Maqasid asy-Syari’ah, yaitu :
1.
Adanya hak dan kewajiban suami istri dalam
menjalani kehidupan rumah tangga seperti bunyi pasal 30-31 Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, sebagai
berikut :[16]
“Suami
istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
sengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.”
Bunyi pasal tersebut sejalan dengan hukum Islam
yang menganjurkan pergaulan suami istri secara ma’ruf. Kata ma’ruf ini mengandung
pengertian i’tikad baik antara suami istri, juga yang berkaitan dengan harta
kekayaannya. Hal ini sejalan dengan ketentuan al-Qur’an, sebagaimana fiman
Allah SWT. surat AN-Nisa’ (4) ayat (19):[17]
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŰ$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2
“Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka
secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak”.
Ayat di atas dengan tegas menjelaskan, agar
suami menggauli istri dengan cara ma’ruf, tidak berbuat keji dan melakukan
perbuatan yang dapat menyakitkan hati istri. Begitu pula sebaliknya sikap istri
terhadap suaminya.
Sedangkan mengenai tanggung jawab suami sebagai
kepala rumah tangga, terdapat di dalam firman Allah SWT. Surat An-Nisa’ (4)
ayat : 34, yaitu : [18]
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 …
“ Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. … “
Berdasarkan ayat di atas, seorang suami wajib
berbuat baik terhadap istrinya, begitu pula sebaliknya bagi istri wajib berbuat
baik kepada suaminya. Berbuat baik di sini mengandung pengertian yang berupa
perkataan, perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan rumah tangga suami istri.
Hal ini sejalan dengan Maqasid asy-Syari’ah dalam semua aspek tingkatannya dan
menjaga lima aspek yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan
demikian kemashlahatan yang menjadi tujuan dalam menegakkan rumah tangga dapat
terwujud.
2.
Seorang Suami tidak mungkin mengingkari
istrinya demikian sebaliknya seorang istri tidak mungkin mengingkari suaminya.
Pengingkaran ini tidak dapat dilakukan dengan adanya akta nikah yang dikutip
dalam kutipan akta nikah dan disimpan masing-masing suami dan istri. Hal ini
sesuai dengan tujuann hukum Islam itu sendiri yaitu menjaga kemashlahatan dan
menghindarkan kemudharatan.
3.
Suami
tidak dengan mudah menjatuhkan talak kepada istrinya dan istri berhak
untuk melakukan gugat cerai kepada istrinya.
Hal tersebut diharapkan agar perkawinan yang
suci antara suami istri tidak mudah timbul perceraian tanpa alasan yang kuat
dan tepat. Persoalan perceraian telah diatur dalam Undang-undang perkawinan No.
1 Tahun 1974 pasal 39 ayat (1-2) , yaitu :[19]
“Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak. Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu
tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.”
Dan
sesuai dengan hadits rasulullah SAW. Sebagai berikut :[20]
ابغض الحلال الى الله عزوجل الطلاق
Ketentuan Undang-undang Perkawinan dan hadits
Nabi SAW. Tersebut demi menjaga kemashlahatan bagi suami istri dan keluarganya.
Agar suami tidak dengan mudah menceraikan istrinya atau istri tidak dengan
mudah menggugat cerai suaminya. Hal ini sesuai dengan Maqasyid asy-Syari’ah,
yaitu agar pernikahan yang sacral tersebut tidak begitu saja berakhir tanpa
disertai alas alas an-alasan yang tepat.
4.
Hak saling mewarisi, bilamana salah seorang
meninggal dunia, sesuai dengan firman Allah SWT. surat An-Nisa’ (4) ayat (7)
sebagai berikut :[21]
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uèYx. 4 $Y7ÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B
“bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Hak mewarisi bagi ahli waris atas harta yang
ditinggalkan mawaris harus dibuktikan dengan akta perkawinan sebagai akta
otentik yang memiliki fungsi untuk menjelaskan adanya hubungan nasab ahli waris
dengan mawaris.
Hak mewarisi harta warisan bagi ahli waris
termasuk kategori menjaga harta dalam tingkatan ad-Daruriyyat. Dengan demikian,
maqasyid asy-Syari’ah bertujuan menjaga kemashlahatan bagi ahli waris akan
harta warisan dapat terbagi sesuai dengan bagian masing-masing ahli waris.
5.
Suami istri harus mempunyai tempat kediaman
yang tetap, sesuai dengan firman Allah SWT. surat At-talaq (65) ayat (6) yaitu
:[22]
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB
ß]øym OçGYs3y
`ÏiB öNä.Ï÷`ãr
wur £`èdr!$Òè?
(#qà)ÍhÒçGÏ9 £`Íkön=tã
4 …
“Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka… “
Ayat tersebut memerintahkan agar suami meberi
tempat tinggal bagi istrinya berdasarkan kesanggupan suami. Salah satu faktor agar tercapainya kehidupan rumah
tangga yang damai, bahagia dan sejahtera adalah adanya tempat tinggal yang
tetap. Perintah ini dimaksudkan untuk menjaga jiwa yang merupakan mashlahat
dalam peringkat ad-daruriyyat, sebab dengan memiliki tempat tinggal, suami
istri dapat terlindung dari berbagai macam gangguan yang dapat menganggu
kehidupan rumah tangga.
6.
Suami istri wajib saling cinta mencintai,
hormat menghormati, setia dan member bantuan kepada yang lain. Suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
permohonan atau gugatan kepada Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 33-34
Undang-undang perkawinan.[23]Hal ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum (30) ayat (21)
sebagai berikut :[24]
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Kewajiban suami memberi nafkah kepada isterinya
berdasarkan kemampuan adalah sejalan dengan Maqasid asy-Syari’ah yaitu pada
aspek menjaga agama dan jiwa yang termasuk peringkat ad-daruriyyat, sebab
terpenuhinya kebutuhan akan dapat menjaga agama dan jiwa.
2.
Unsur-unsur mudharat dalam perkawinan tanpa
adanya pencatatan adalah :
Mengetahui unsur-unsur mudharat dalam
perkawinan tanpa pencatatan pernikahan sangatlah penting untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan dalam suatu pernikahan dalam menjalankan hidup
rumah tangga di masa mendatang. Unsur-unsur tersebur adalah sebagai berikut :
1.
Secara yuridis, istri dan anak-anak yang
dilahirkan tidak dapat menuntut hak-haknya, baik yang terjadi selama perkawinan
maupun setelah perceraian serta tidak dapat saling mewarisi. Perkawinan yang
hanya dilakukan secara agama tanpa dicatatkan,
tidak memiliki dokumen otentik yang mempunyai kepastian hukum untuk
melindungi hak istri, dan anak yang dilahirkan maupun jika perceraian terjadi.
2.
Anak yang dilahirkan hanya dinasabkan kepada
ibunya tanpa disebutkan ayahnya. Pernikahan tanpa dokumen yang otentik, Negara tidak dapat melindungi hak istri dan anak yang dilahirkan
maupun jika terjadi perceraian. Sehingga istri dan anak yang dilahirkan tidak
mempunyai kepastian hukum, padahal tujuan maqasid asy-Syari’ah dalam hal ini
adalah menjaga hak istri dan anak terlindungi demi mencapai kemashlahatan bagi
suami, istri, anak dan masyarakat serta terhindar dari kemudharatan.
3.
Suami istri yang berdomisili pada suatu daerah dengan
anak-anak keturunannya dapat disangka telah “kumpul kebo”, sebab perkawinan
yang mereka lakukan tidak dapat
menunjukkan dokumen perkawinan sebagaimana perkawinan yang tercatat. Hal ini
dapat juga menimbulkan fitnah dan kegelisahan sehingga maksud dan tujuan
pernikahan yang diharapkan yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah tidak dapat tercapai.
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah diuraikan, penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Pencatatan perkawinan akan mendapatkan
kepastian hukum berdasarkan dokumen otentik yang dimiliki sehingga hak dan
kewajiban masing-masing suami, istri dan anak keturunannya dilindungi oleh
Negara. Pencatatan yang dilakukan akan
menjadikan perkawinan tersebut menjadi
jelas dan tujuan perkawinan dapat tercapai yaitu kemashlatan bagi suami, istri,
anak dan masyarakat.
2.
Perkawinan tanpa pencatatan , secara yuridis tidak
memiliki dokumen otentik yang dapat memberikan kepastian hukum dan dilindungi
oleh Negara. Istri dan anak-anak yang dilahirkan baik selama perkawinan maupun
jika terjadi perceraian, tidak dapat menuntuk hak-hak mereka dan anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut hanya dinasabkan kepada ibunya saja.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil pembahasan yang diperoleh,
maka penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1.
Kepada masyarakat (khususnya umat Islam) untuk melakukan
pencatatan pernikahan dibawah pengawasan Kepala Kantor Urusan Agama selaku
Pegawai Pencatat Nikah atau Pejabat yang mewakili (penghulu) sehingga memiliki
kepastian hukum yang dapat melindungi hak dan kewajiban pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan serta generasi keturunan selanjutnya.
2.
Kepada Kantor Kementerian
Agama Khususnya Kantor Urusan Agama agar
lebih mengintensifkan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang
mashlahah pencatatan perkawinan dan mafsadah yang ditimbulkan terhadap perkawinan
yang tidak dicatatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar