Kamis, 01 November 2012

ARTIKEL



A.      Kerangka Teoritik
Kondisi zaman yang selalu berubah dan berbeda, hal ini membawa masyarakat senantiasa mengalami perubahan pada pola pikir dan tata nilai dalam hidup bermasyarakat. Dengan adanya perubahan zaman, cara berfikir masyarakat semakin maju dan berkembang. Pandangan semacam itu tidak terlepas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, lebih jauh lagi bahwa syari’ah Islam tida terbatas pada dimensi ruang dan waktu serta selalu sesuai dengan setiap perubahan masyarakat. Maka syari’ah Islam  harus mampu mengatasi perubahan zaman tersebut yang dikehendaki dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat demi kemaslahatan manusia , khususnya umat Islam.

Syari’ah Islam itu dengan sumber-sumbernya, nash-nashnya dan kaidahnya tidak hanya berpangku tangan saja dengan kaki terbelenggu sehingga tidak dapat bergerak mengikuti berbagai peristiwa yang berjalan kea rah perubahan, ia akan terus maju ke depan sejak zaman para sahabat sampai akhirkehid upan dunia ini.[6]
Sebagaian besar ahli fiqih berpendapat, bahwa hukum dasar sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang menetapkan bahwa sesuatu itub terlarang, seperti bunyi kaidah usul Al-fiqih berikut :[7]
الاصل فى لاشياء الاباحة حتي يدلالدليل علي التحريم
Berdasarkan kaidah di atas dapat dipahami bahwa segala macam bentuk mu’amalah pada dasarnya adalah dibolehkan oleh syari’ah Islam selagi tida bertentangan dengan syari’ah itu sendiri. Untuk menghadapi persoalan perkawinan yaitu tentang pencatatan perkawinan, menurut pasal 2 ayat (2) UU No, 1 Tahun 1974, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena pencatatan perkawinan adalah termasuk salah satu bentuk mu’amalah dengan tujuan untuk membentuk atau mencapai kemashlahatan, baik yang melangsungkan perkawinan juga bagi orang lain. Maka pasal 2 ayat (2) UU No, 1 tahun 1974 dan peraturan perundang-undangan perkawinan lainnya serta petunjuk pelaksanaannya tercakup pada kaidah berikut ini :
الحكم يتبع المصلحة الراجحة[8]
Hukum Islam tidak mensyaratkan pencatatan perkawinan sebagai sahnya perawinan, karena tidak ada nash yang mengharuskan agar pernikahan dicatat. Maka menurut penulis, bahwa pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang mengharuskan adanya pencatatan perkawinan adalah merupakan suatu ijtihada baru.
Pencatatan perkawinan bertujuan memperoleh kepastian hukum atas terjadinya perkawinan, yang akan dipergunakan oleh Negara untuk melindungi hak masing-masing suami istri. Tanpa pencatatan, Negara tidak mempunyai dokumen otentik atas terjadinya perkawinan.[9]
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan bagi umat Islam Indonesia, karena pencatatan tersebut mengandung unsur kemashlahatan. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah (2) ayat (282) sebagai berikut :[10]
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/
7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…"

Pencatatan perkawinan dilakukan untuk mendatangkan kemashlahatan, maka untuk itu segala bentuk kesulitan harus dihilangkan, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj yang berbunyi :[11]
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4

.. Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan

Berdasarkan kaidah ushul al-fiqh dan nash al-Qur’an tersebut di atas, bahwa pada prinsipnya setiap hukum itu memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat, menerima kebaikan dan menolak kerusakan dalam hidup masyarakat.
Nushus al-Qur’an dan ayat-ayatnya menandaskan bahwa tujuan (ghayah) dari hukum Islam baik secara global ataupun secara terperinci , ialah :[12]
منع المفا سد من دنيا الناس وجلب المصالح لهم وسياسة الدنيا الحق والعدل والخير وتو ضيح معالم الطريق امام العثل البشرئ
Menurut al-Gazali di dalam al-Mustasfa, mashlahat adalah memelihara maksud asy-syar’i, yaitu tujuan pembuatan hukum. Adapun untuk menjaga mashlahat menurut maksud syar’i adalah lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima hal tersebut al-Gazali kelompokkan menjadi tiga peringkat, yaitu ad-daruriyat, al-hajiyat dan at-tahsiniyat.[13]
Tingkat daruri merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak harus ada, dan dilaksanakan dalam rangka menciptakan lima kemashlahatan tersebut. Tingkat hajiyat diwujudkan dalam rangka menghindari kesulitan pelaksanaan dan kesempatan dalam pengalaman. Tingkat tahsini, diwujudkan dalam rangka untuk memperkokoh dan memperindah bangunan hukum dengan mendasarkan pada akhlak yang mulia.[14]
Pencatatan perkawinan adalah termasuk pada tingkatan daruri, untuk itu harus dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dengan memelihara atau memberikan perlindungan terhadap keturunan dan harta sebagai konsekwensi dari perrkawinan tersebut.

B.       Temuan dan Pembahasan
1.                  Unsur-unsur mashlahah dalam pencatatan perkawinan
Hukum Islam tidak mengatur secara jelas tentang pencatatan perkawinan. Sedangkan Undang-undang perkawinan mengharuskan pencatatan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan, yang nantinya dicatat dalam akta perkawinan. Seperti bunyi pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 : [15]
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Mengenai maksud dan tujuan pencatatan perkawinan lebih dan terperinci, berikut ini akan diuraikan unsur-unsur mashlahah dalam perkawinan yang dilangsungkan dengan adanya pencatatan perkawinan dengan menggunakan tinjauan Maqasid asy-Syari’ah, yaitu :
1.    Adanya hak dan kewajiban suami istri dalam menjalani kehidupan rumah tangga seperti bunyi pasal 30-31 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,  sebagai berikut  :[16]
“Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang sengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.”

Bunyi pasal tersebut sejalan dengan hukum Islam yang menganjurkan pergaulan suami istri secara ma’ruf. Kata ma’ruf ini mengandung pengertian i’tikad baik antara suami istri, juga yang berkaitan dengan harta kekayaannya. Hal ini sejalan dengan ketentuan al-Qur’an, sebagaimana fiman Allah SWT. surat  AN-Nisa’ (4) ayat (19):[17]

$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2  
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

Ayat di atas dengan tegas menjelaskan, agar suami menggauli istri dengan cara ma’ruf, tidak berbuat keji dan melakukan perbuatan yang dapat menyakitkan hati istri. Begitu pula sebaliknya sikap istri terhadap suaminya.
Sedangkan mengenai tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga, terdapat di dalam firman Allah SWT. Surat An-Nisa’ (4) ayat : 34, yaitu : [18]
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4  

“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. … “

Berdasarkan ayat di atas, seorang suami wajib berbuat baik terhadap istrinya, begitu pula sebaliknya bagi istri wajib berbuat baik kepada suaminya. Berbuat baik di sini mengandung pengertian yang berupa perkataan, perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan rumah tangga suami istri. Hal ini sejalan dengan Maqasid asy-Syari’ah dalam semua aspek tingkatannya dan menjaga lima aspek yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan demikian kemashlahatan yang menjadi tujuan dalam menegakkan rumah tangga dapat terwujud.
2.    Seorang Suami tidak mungkin mengingkari istrinya demikian sebaliknya seorang istri tidak mungkin mengingkari suaminya. Pengingkaran ini tidak dapat dilakukan dengan adanya akta nikah yang dikutip dalam kutipan akta nikah dan disimpan masing-masing suami dan istri. Hal ini sesuai dengan tujuann hukum Islam itu sendiri yaitu menjaga kemashlahatan dan menghindarkan kemudharatan.
3.    Suami  tidak dengan mudah menjatuhkan talak kepada istrinya dan istri berhak untuk melakukan gugat cerai kepada istrinya.
Hal tersebut diharapkan agar perkawinan yang suci antara suami istri tidak mudah timbul perceraian tanpa alasan yang kuat dan tepat. Persoalan perceraian telah diatur dalam Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat (1-2) , yaitu :[19]
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.”

Dan sesuai dengan hadits rasulullah SAW. Sebagai berikut :[20]
ابغض الحلال الى الله عزوجل الطلاق
Ketentuan Undang-undang Perkawinan dan hadits Nabi SAW. Tersebut demi menjaga kemashlahatan bagi suami istri dan keluarganya. Agar suami tidak dengan mudah menceraikan istrinya atau istri tidak dengan mudah menggugat cerai suaminya. Hal ini sesuai dengan Maqasyid asy-Syari’ah, yaitu agar pernikahan yang sacral tersebut tidak begitu saja berakhir tanpa disertai alas alas an-alasan yang tepat.
4.    Hak saling mewarisi, bilamana salah seorang meninggal dunia, sesuai dengan firman Allah SWT. surat An-Nisa’ (4) ayat (7) sebagai berikut :[21]
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B

bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

Hak mewarisi bagi ahli waris atas harta yang ditinggalkan mawaris harus dibuktikan dengan akta perkawinan sebagai akta otentik yang memiliki fungsi untuk menjelaskan adanya hubungan nasab ahli waris dengan mawaris.
Hak mewarisi harta warisan bagi ahli waris termasuk kategori menjaga harta dalam tingkatan ad-Daruriyyat. Dengan demikian, maqasyid asy-Syari’ah bertujuan menjaga kemashlahatan bagi ahli waris akan harta warisan dapat terbagi sesuai dengan bagian masing-masing ahli waris.
5.    Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, sesuai dengan firman Allah SWT. surat At-talaq (65) ayat (6) yaitu :[22]
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka… “

Ayat tersebut memerintahkan agar suami meberi tempat tinggal bagi istrinya berdasarkan kesanggupan suami. Salah satu  faktor agar tercapainya kehidupan rumah tangga yang damai, bahagia dan sejahtera adalah adanya tempat tinggal yang tetap. Perintah ini dimaksudkan untuk menjaga jiwa yang merupakan mashlahat dalam peringkat ad-daruriyyat, sebab dengan memiliki tempat tinggal, suami istri dapat terlindung dari berbagai macam gangguan yang dapat menganggu kehidupan rumah tangga.
6.    Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan member bantuan kepada yang lain. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan permohonan atau gugatan kepada Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 33-34 Undang-undang perkawinan.[23]Hal  ini telah ditegaskan  dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum (30) ayat (21) sebagai berikut :[24]
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ  

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Kewajiban suami memberi nafkah kepada isterinya berdasarkan kemampuan adalah sejalan dengan Maqasid asy-Syari’ah yaitu pada aspek menjaga agama dan jiwa yang termasuk peringkat ad-daruriyyat, sebab terpenuhinya kebutuhan akan dapat menjaga agama dan jiwa.

2.                  Unsur-unsur mudharat dalam perkawinan tanpa adanya pencatatan adalah :
Mengetahui unsur-unsur mudharat dalam perkawinan tanpa pencatatan pernikahan sangatlah penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam suatu pernikahan dalam menjalankan hidup rumah tangga di masa mendatang. Unsur-unsur tersebur adalah sebagai berikut :
1.    Secara yuridis, istri dan anak-anak yang dilahirkan tidak dapat menuntut hak-haknya, baik yang terjadi selama perkawinan maupun setelah perceraian serta tidak dapat saling mewarisi. Perkawinan yang hanya dilakukan secara agama tanpa dicatatkan,  tidak memiliki dokumen otentik yang mempunyai kepastian hukum untuk melindungi hak istri, dan anak yang dilahirkan maupun jika perceraian terjadi.
2.    Anak yang dilahirkan hanya dinasabkan kepada ibunya tanpa disebutkan ayahnya. Pernikahan tanpa dokumen  yang otentik, Negara tidak dapat  melindungi hak istri dan anak yang dilahirkan maupun jika terjadi perceraian. Sehingga istri dan anak yang dilahirkan tidak mempunyai kepastian hukum, padahal tujuan maqasid asy-Syari’ah dalam hal ini adalah menjaga hak istri dan anak terlindungi demi mencapai kemashlahatan bagi suami, istri, anak dan masyarakat serta terhindar dari kemudharatan.
3.    Suami istri yang berdomisili pada suatu daerah dengan anak-anak keturunannya dapat disangka telah “kumpul kebo”, sebab perkawinan yang mereka lakukan  tidak dapat menunjukkan dokumen perkawinan sebagaimana perkawinan yang tercatat. Hal ini dapat juga menimbulkan fitnah dan kegelisahan sehingga maksud dan tujuan pernikahan yang diharapkan yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah  tidak dapat tercapai.












A.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.    Pencatatan perkawinan akan mendapatkan kepastian hukum berdasarkan dokumen otentik yang dimiliki sehingga hak dan kewajiban masing-masing suami, istri dan anak keturunannya dilindungi oleh Negara. Pencatatan yang dilakukan    akan menjadikan perkawinan  tersebut menjadi jelas dan tujuan perkawinan dapat tercapai yaitu kemashlatan bagi suami, istri, anak dan masyarakat.
2.    Perkawinan tanpa pencatatan , secara yuridis tidak memiliki dokumen otentik yang dapat memberikan kepastian hukum dan dilindungi oleh Negara. Istri dan anak-anak yang dilahirkan baik selama perkawinan maupun jika terjadi perceraian, tidak dapat menuntuk hak-hak mereka dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut hanya dinasabkan kepada ibunya saja.
B.       Rekomendasi
Berdasarkan hasil pembahasan yang diperoleh, maka penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1.    Kepada masyarakat (khususnya umat Islam) untuk melakukan pencatatan pernikahan dibawah pengawasan Kepala Kantor Urusan Agama selaku Pegawai Pencatat Nikah atau Pejabat yang mewakili (penghulu) sehingga memiliki kepastian hukum yang dapat melindungi hak dan kewajiban pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan serta generasi keturunan selanjutnya.
2.    Kepada Kantor Kementerian Agama  Khususnya Kantor Urusan Agama agar lebih mengintensifkan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang mashlahah pencatatan perkawinan dan mafsadah yang ditimbulkan terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar